Postingan Unggulan

Menjaga Integritas Sekolah melalui Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-Nilai Kebajikan

 3.1.k. Aksi Nyata - Modul 3.1

Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-nilai Kebajikan sebagai Pemimpin


Sumber : Dokumen Pribadi

Tujuan Pembelajaran Khusus : CGP dapat mempraktikkan proses pengambilan keputusan, paradigma, prinsip, dan pengujian keputusan di sekolah CGP

Latar Belakang Kasus Nyata:

Rahmat adalah siswa kelas XI.3 di SMAN 10 Bulukumba yang memiliki banyak prestasi, khususnya di bidang seni, yaitu menyanyi. Rahmat sering mewakili sekolah dalam berbagai kompetisi antar sekolah dan berhasil meraih beberapa penghargaan. Ia juga aktif dalam kegiatan pramuka dan kerap meraih prestasi dalam lomba yang berhubungan dengan seni. Karena bakat dan prestasinya ini, Rahmat telah menjadi siswa andalan sekolah untuk perwakilan di berbagai kompetisi seni dan pramuka.

Namun, banyak keluhan yang muncul dari para guru di kelasnya karena Rahmat sering absen dari pelajaran tatap muka. Meskipun hadir di sekolah, Rahmat lebih sering berada di luar kelas untuk latihan atau persiapan lomba. Beberapa guru, termasuk wali kelasnya, telah menasihati Rahmat untuk lebih disiplin dalam mengikuti pelajaran, tetapi perilaku ini masih terus berlangsung.

Menjelang lomba pramuka yang akan diikuti SMAN 10 Bulukumba, sejumlah guru menyarankan agar Rahmat tidak diikutsertakan sebagai bentuk konsekuensi atas ketidakdisiplinannya di kelas. Menurut mereka, hal ini akan menjadi contoh yang baik bagi siswa lain bahwa tanggung jawab akademik harus dijunjung tinggi. Namun, beberapa guru merasa kasihan pada Rahmat karena potensi besar dan bakatnya yang jarang dimiliki siswa lain. Mereka khawatir, mengecualikannya dari lomba akan berdampak buruk pada semangat dan rasa percaya dirinya.


Dilema Etika: Rasa Keadilan vs. Rasa Kasihan

Rasa Keadilan: 

Demi menjaga kedisiplinan dan tanggung jawab akademik di lingkungan sekolah, keputusan untuk tidak mengikutsertakan Rahmat dalam lomba dianggap adil dan tepat. Dengan keputusan ini, sekolah menunjukkan bahwa prestasi non-akademik tidak boleh mengesampingkan tanggung jawab belajar. Langkah ini diharapkan bisa mengirim pesan kepada seluruh siswa bahwa tidak ada pengecualian dalam menegakkan nilai kedisiplinan dan keadilan di sekolah. Ini juga akan menjadi contoh bahwa setiap siswa, tanpa kecuali, harus menyeimbangkan antara prestasi dan tanggung jawab akademik.

Rasa Kasihan: 

Mengingat potensi dan bakat luar biasa yang dimiliki Rahmat, beberapa guru merasa kasihan jika ia tidak diberikan kesempatan untuk berkompetisi lagi. Mereka khawatir bahwa hal ini akan menghambat perkembangan minatnya dan menurunkan motivasinya. Keputusan untuk melarangnya ikut lomba mungkin terlalu keras, dan beberapa guru berpendapat bahwa sekolah sebaiknya lebih fleksibel, memberikan toleransi agar Rahmat tetap bisa menyalurkan bakatnya sambil perlahan didorong untuk memperbaiki kedisiplinan akademisnya.

Pilihan Keputusan:

Mengecualikan Rahmat dari Lomba: Memilih untuk tidak mengikutsertakan Rahmat dalam lomba adalah keputusan yang mendukung rasa keadilan. Dengan demikian, sekolah menunjukkan bahwa kedisiplinan akademik adalah prioritas dan memberikan pesan kuat kepada siswa lain bahwa tanggung jawab belajar adalah yang utama. Namun, konsekuensinya adalah dampak pada motivasi dan rasa percaya diri Rahmat, yang dapat membuatnya merasa tidak dihargai atas prestasinya.

Mengizinkan Rahmat Mengikuti Lomba dengan Syarat: Memungkinkan Rahmat untuk ikut serta dalam lomba dengan syarat bahwa ia harus meningkatkan kedisiplinannya dalam mengikuti pelajaran bisa menjadi solusi yang mempertimbangkan kedua sisi dilema. Rahmat tetap dapat menunjukkan bakatnya, tetapi juga diberi tanggung jawab untuk memperbaiki kehadiran akademiknya. Pendekatan ini diharapkan dapat memberi Rahmat pemahaman bahwa kedisiplinan tetap penting, sambil tetap mendukung pengembangan potensinya.

Rekomendasi Keputusan:

Demi keseimbangan antara rasa keadilan dan rasa kasihan, pihak sekolah dapat memilih pendekatan kedua, yaitu mengizinkan Rahmat untuk ikut serta dalam lomba, namun dengan kesepakatan khusus. Kepala Sekolah atau wali kelas bisa membuat perjanjian yang menyatakan bahwa Rahmat harus menunjukkan peningkatan dalam kehadiran kelas dan kedisiplinan akademik dalam waktu tertentu. Jika Rahmat tidak memenuhi perjanjian ini, maka konsekuensi tegas akan diberlakukan di masa depan.

Dengan pendekatan ini, sekolah memberikan kesempatan kepada Rahmat untuk mempertahankan prestasinya sekaligus mengedukasi dirinya akan pentingnya keseimbangan antara prestasi dan tanggung jawab akademik. Ini juga menjadi contoh baik bagi siswa lain bahwa sekolah mendukung potensi setiap murid tetapi tetap menegakkan nilai-nilai disiplin dan tanggung jawab.


Rangkuman Kasus dan Wawancara

Pada suatu kasus di SMAN 10 Bulukumba, seorang siswa bernama Rahmat, yang berprestasi di bidang seni dan kepramukaan, sering kali dihadapkan pada dilema antara prestasi dan kedisiplinan di kelas. Rahmat banyak memenangkan lomba-lomba seni dan pramuka, tetapi sering tidak mengikuti pelajaran di kelas, yang memicu keluhan dari guru-gurunya. Ini menghadapkan sekolah pada situasi dilematis: apakah memberi toleransi kepada Rahmat karena prestasinya atau menegakkan aturan kedisiplinan yang sama untuk semua siswa.

Dalam wawancara dengan Kepala Sekolah SMAN 10 Bulukumba, beliau menjelaskan proses pengambilan keputusan di sekolah ini, yang sangat dipengaruhi oleh prinsip bahwa keputusan harus berpihak kepada siswa, etis, dan didasarkan pada nilai kebajikan. Prinsip utama yang dipakai adalah berbasis hasil akhir, peraturan, dan kepedulian, yang memastikan bahwa setiap keputusan seimbang dalam mempertimbangkan dampak, keadilan, dan perhatian terhadap siswa.

Kepala Sekolah juga menekankan pentingnya paradigma keadilan vs. rasa kasihan, yang sering muncul dalam kasus seperti Rahmat. Paradigma ini mengharuskan sekolah mempertimbangkan apakah keputusan didasarkan pada rasa keadilan atau perasaan kasihan semata. Dalam proses pengambilan keputusan, serangkaian uji dilakukan untuk memastikan keputusan tersebut sah secara aturan (uji legal), sejalan dengan visi dan misi sekolah (uji regulasi), serta layak jika diketahui publik (uji halaman depan).


Kesimpulan

Dari kasus dan wawancara ini, kita bisa melihat bahwa pengambilan keputusan di sekolah membutuhkan pertimbangan yang sangat komprehensif dan teliti. Proses yang digunakan Kepala Sekolah meliputi langkah-langkah mendetail: mengenali nilai yang bertentangan, menentukan pihak-pihak terkait, mengumpulkan fakta, serta menerapkan pengujian prinsip. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan bukan hanya tentang mencari solusi praktis, tetapi juga memastikan setiap keputusan diambil dengan hati-hati untuk mendukung misi sekolah dalam membentuk siswa yang berkarakter.

Pada kasus Rahmat, keputusan untuk tidak segera mengeluarkannya dari kegiatan lomba menunjukkan penerapan nilai-nilai kebajikan, di mana sekolah mencoba mencari keseimbangan antara menghargai prestasi Rahmat dan pentingnya kedisiplinan. Dengan mempertimbangkan kondisi Rahmat, sekolah tidak hanya memberikan sanksi, tetapi mencari cara yang dapat menyeimbangkan antara prestasi dan disiplin tanpa mengorbankan salah satunya.

Refleksi

Kasus ini mengajarkan bahwa pengambilan keputusan di sekolah perlu dilakukan dengan hati-hati, mempertimbangkan berbagai paradigma, prinsip, dan melakukan pengujian nilai. Seperti diungkapkan Kepala Sekolah, paradigma keadilan vs. rasa kasihan memberikan tantangan yang menarik: harus seimbang antara menghargai pencapaian siswa dan menegakkan aturan yang berlaku.

Selain itu, wawancara ini menyoroti pentingnya kepala sekolah memiliki keterampilan coaching dalam membimbing guru dan siswa menghadapi dilema. Teknik coaching yang berlandaskan etika dan nilai kebajikan serta prinsip kesetaraan memungkinkan proses reflektif yang nyaman dan mendalam. Dalam perannya sebagai pemimpin, kepala sekolah tidak hanya memberikan keputusan akhir tetapi membimbing semua warga sekolah dalam proses refleksi, sehingga mereka dapat memahami pentingnya nilai-nilai yang diterapkan di sekolah.

Pengambilan keputusan yang bertanggung jawab juga merupakan contoh keteladanan bagi seluruh warga sekolah, sejalan dengan prinsip “Ing Ngarsa Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” yang dicetuskan Ki Hajar Dewantara. Prinsip ini mengingatkan kita bahwa seorang pemimpin harus mampu memberikan teladan dari depan, membangkitkan semangat dari tengah, dan mendukung dari belakang.

Pada akhirnya, pengambilan keputusan yang berpihak pada murid dengan berpedoman pada nilai-nilai kebajikan menjadi landasan utama dalam membentuk karakter siswa sebagai generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berintegritas, sebagaimana diharapkan dalam profil pelajar Pancasila. Proses ini, bila dilakukan secara konsisten, akan menumbuhkan budaya positif dan rasa saling percaya di lingkungan sekolah, serta memperkuat fondasi sekolah sebagai institusi moral.

Komentar