Postingan Unggulan

Koneksi Antar Materi Modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik


 Nama: Hasisba Isnayanto, S.Pd.,M.Si.

CGP Angkatan 11 Kabupaten Bulukumba

(SMAN 10 Bulukumba)

Melalui Modul 2.3 tentang Coaching untuk Supervisi Akademik, saya telah mempelajari dan mendalami berbagai konsep serta prinsip terkait coaching yang berfokus pada pengembangan potensi guru atau coachee. Pembelajaran ini dimulai dengan memahami paradigma berpikir coaching, yaitu berfokus pada coachee, bersikap terbuka dan ingin tahu, memiliki kesadaran diri yang kuat, serta mampu melihat peluang baru dan masa depan. Prinsip coaching yang menekankan kemitraan, proses kreatif, dan memaksimalkan potensi menjadi landasan penting dalam supervisi akademik yang efektif.

Salah satu pemahaman kunci yang saya dapatkan adalah kompetensi inti dalam coaching yang harus dimiliki oleh seorang guru penggerak, yaitu kehadiran penuh (presence), mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot. Selain itu, saya juga belajar tentang teknik mendengarkan dengan RASA (Receive, Appreciate, Summarize, Ask), yang membantu memperkuat koneksi antara coach dan coachee selama proses coaching.

Modul ini juga menekankan pentingnya struktur percakapan coaching yang menggunakan alur TIRTA (Tujuan, Identifikasi, Rencana, Tanggung jawab). Dengan mengikuti alur ini, saya sebagai coach dapat membantu coachee mengidentifikasi tujuan yang ingin dicapai, mengenali permasalahan, merumuskan rencana solusi, dan menetapkan tanggung jawab untuk mewujudkan solusi tersebut. Proses ini sangat berkaitan dengan tahapan supervisi akademik, yang meliputi pra-observasi, observasi, dan pasca-observasi, di mana setiap tahap dirancang untuk membantu guru/coachee mengoptimalkan pembelajaran yang berpusat pada murid.

Melalui praktik coaching ini, saya menyadari bahwa supervisi akademik tidak hanya sekadar evaluasi, tetapi juga sebuah proses yang bertujuan untuk mengembangkan potensi guru melalui dialog terbuka, refleksi, dan eksplorasi solusi.

Peran seorang coach di sekolah, bukan hanya mengamati dan mengevaluasi kinerja pembelajaran, melainkan juga memfasilitasi guru/coachee untuk menemukan solusi dan strategi yang tepat dalam meningkatkan pembelajaran. Dalam hal ini, keterampilan coaching yang saya kembangkan selama modul ini sangat berkaitan erat dengan materi sebelumnya tentang pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial-emosi di Paket Modul 2.

Pembelajaran Berdiferensiasi: 

Coaching memungkinkan saya untuk mendukung guru dalam merancang pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan murid berdasarkan tiga aspek utama: minat belajar, kesiapan belajar, dan profil belajar murid. Dalam pembelajaran berdiferensiasi, setiap murid memiliki kebutuhan yang berbeda, dan melalui coaching, saya dapat membantu guru mengenali dan mengatasi tantangan yang mereka hadapi dalam menyesuaikan pendekatan pengajaran dengan kebutuhan individu murid. Alur TIRTA dalam coaching bisa digunakan untuk memfasilitasi guru menggali strategi yang efektif guna memastikan setiap murid mendapatkan pengalaman belajar yang optimal.

Pembelajaran Sosial-Emosi: 

Pembelajaran sosial-emosional menekankan pentingnya kompetensi seperti kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Keterampilan coaching sangat relevan di sini, karena seorang coach harus memiliki kepekaan sosial-emosional yang tinggi. Melalui coaching, saya dapat membantu guru membangun suasana kelas yang lebih mendukung secara emosional bagi murid, serta membantu mereka mengatasi kendala sosial-emosional yang mungkin mempengaruhi proses pembelajaran.

Coaching dengan pendekatan sosial-emosional juga melibatkan penerapan teknik mindfulness seperti STOP, yang membantu menciptakan ruang refleksi bagi guru untuk mengelola stres, fokus pada tujuan pembelajaran, dan berinteraksi dengan murid dengan lebih empatik.

Sebagai seorang pemimpin pembelajaran, kemampuan coaching menjadi salah satu kompetensi kunci yang membantu saya memberdayakan rekan sejawat dan murid untuk mencapai potensi maksimal mereka. Dalam peran ini, keterampilan coaching memungkinkan saya:

  • Membina Kolaborasi dan Kemitraan: Coaching mendorong kemitraan yang sejajar antara coach dan coachee, di mana saya berperan sebagai fasilitator yang membantu guru/coachee menggali potensi dan solusi mereka sendiri, daripada hanya memberikan instruksi atau solusi. Pendekatan ini mendorong kemandirian dan kepercayaan diri pada coachee, serta memperkuat hubungan profesional antar guru.
  • Meningkatkan Proses Reflektif: Melalui coaching, saya membantu guru untuk lebih reflektif terhadap praktik mengajar mereka sendiri. Dengan mengajukan pertanyaan yang berbobot, saya dapat memicu proses berpikir yang lebih dalam dan kritis, yang pada akhirnya membantu guru untuk mengevaluasi dan memperbaiki metode pembelajaran mereka secara mandiri.
  • Mendukung Inovasi dan Kreativitas: Coaching mengajarkan saya untuk terbuka terhadap ide-ide baru dan mendorong guru untuk berpikir kreatif dalam merancang pembelajaran. Melalui diskusi coaching yang terstruktur, saya dapat membantu guru menemukan solusi inovatif dalam menghadapi tantangan pembelajaran, yang tidak hanya relevan bagi murid, tetapi juga sesuai dengan tuntutan kurikulum yang dinamis.
  • Mengembangkan Kepemimpinan yang Berpusat pada Murid: Dalam konteks coaching, seorang pemimpin pembelajaran tidak hanya berfokus pada hasil akademik, tetapi juga pada perkembangan holistik setiap murid. Coaching membantu saya untuk mengajak guru berfokus pada kebutuhan murid secara individual, yang sesuai dengan filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Seorang guru penggerak harus mampu menuntun murid dan guru lain untuk menemukan potensi terbaik mereka dan mengarahkan mereka pada jalan yang tepat dalam pembelajaran.

Tantangan utama yang saya hadapi dalam menerapkan coaching di sekolah adalah membangun kedekatan dan keterbukaan antara coach dan coachee. Beberapa guru masih merasa enggan untuk terbuka tentang kendala yang mereka hadapi. Untuk mengatasi tantangan ini, saya harus lebih peka dalam membangun komunikasi yang efektif dan menciptakan suasana coaching yang nyaman dan aman.

Selain itu, diperlukan pemahaman yang mendalam tentang posisi setara antara coach dan coachee, agar proses coaching tidak dirasakan sebagai bentuk evaluasi yang menghakimi, tetapi lebih sebagai proses pendampingan yang memberdayakan. Menggunakan alur TIRTA dan prinsip RASA membantu saya menciptakan lingkungan yang lebih mendukung untuk coachee dalam proses coaching.

Kesimpulan

Setelah mempelajari dan mempraktikkan materi dari Modul 2.3 tentang Coaching untuk Supervisi Akademik, saya merasa lebih percaya diri dalam menjalankan peran sebagai coach di sekolah. Ini sangat penting karena sebagai seorang guru yang juga diberi tanggung jawab sebagai wakil kepala sekolah bidang kurikukum sering diberikan tugas sebagai supervisor. Keterampilan coaching yang saya kembangkan tidak hanya bermanfaat untuk supervisi akademik, tetapi juga relevan dalam pengembangan kompetensi sebagai pemimpin pembelajaran, khususnya dalam membina pembelajaran berdiferensiasi dan sosial-emosi.

Melalui pendekatan coaching, saya yakin bahwa kualitas pembelajaran di sekolah akan terus meningkat, karena coaching memungkinkan guru untuk menggali potensi mereka, menciptakan solusi yang kreatif, dan pada akhirnya mengembangkan pembelajaran yang lebih berpihak pada murid. Sebagai guru penggerak, saya akan terus berkomitmen untuk belajar dan meningkatkan kemampuan coaching saya, sehingga dapat memberikan dampak yang positif bagi sekolah dan seluruh komunitas belajar.


Komentar